Senin, 08 Desember 2008

Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 39/Permentan/OT.140/8/2006

PERATURAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : 39/Permentan/OT.140/8/2006


 

TENTANG

PRODUKSI, SERTIFIKASI DAN PEREDARAN BENIH BINA


 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


 

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang            :    a.    bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998 telah ditetapkan sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina serta izin produksi benih bina;

  1. bahwa dengan adanya perkembangan pelaksanaan standardisasi dan otonomi daerah, sertifikasi dapat dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi dan izin produksi benih telah menjadi kewenangan kabupaten/kota;
  2. bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas, dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/ 12/1998;

    Mengingat            :    1.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

  3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4043);
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
  5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4612);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3616);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4375);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan Penggunaan Varietas Yang Dilindungi Oleh Pemerintah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4376);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4498);
  13. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1971 tentang Badan Benih Nasional;
  14. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
  15. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2005;
  16. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
  17. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 461/Kpts/Org/ 11/1971 tentang Kelengkapan Susunan Organisasi, Perincian Tugas dan Tata Kerja Badan Benih Nasional;
  18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 902/Kpts/TP.240/ 12/1996 tentang Pengujian, Penilaian dan Pelepasan Varietas juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 737/Kpts/TP.240/9/1998;
  19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 856/Kpts/HK.330/ 9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bio Teknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik;
  20. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1038/Kpts/HK.030/ 11/1997 tentang Pembentukan Komisi Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetika;
  21. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 900/Kpts/KP.150/ 11/1998 tentang Tim Penilai dan Pelepas Varietas juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/KP.150/ 6/2001;
  22. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1100.1/Kpts/Kp-150/10/1999 tentang Pembentukan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura;
  23. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 363/Kpts/KP.430/ 6/2001 tentang Susunan Pimpinan dan Keanggotaan Badan Benih Nasional;
  24. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 170/Kpts/OT.210/ 2/2002 tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian;
  25. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 550/Kpts/OT.140/ 9/2004 tentang Pembentukan Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Pertanian;
  26. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/OT.140/1/2006 tentang Pembentukan Tim Penyusun Konsep Sistem Perbenihan dan Perbibitan Nasional;
  27. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/ OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;
  28. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT/140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Depertemen Pertanian;


 

Memperhatikan : Memorandum Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Tim Penyusun Konsep Sistem Perbenihan dan Perbibitan Nasional Nomor 194/TU.220/ J/5/2006 tanggal 30 Mei 2006;


 

MEMUTUSKAN:


 

Menetapkan    :    PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI DAN PEREDARAN BENIH BINA.


 

BAB I

KETENTUAN UMUM


 

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

  1. Produksi benih bina adalah usaha yang terdiri atas serangkaian kegiatan untuk menghasilkan benih bina.
  2. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih, adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangkan tanaman.
  3. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang produksi dan peredarannya diawasi dan telah dilepas oleh Menteri Pertanian.
  4. Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji dan sifat-sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama.
  5. Varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh pemerintah baik berupa varietas baru maupun varietas lokal yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan/atau sifat-sifat lainnya.
  6. Type-simpang adalah tanaman atau benih yang menyimpang dari sifat-sifat suatu varietas sampai diluar batas kisaran yang telah ditetapkan.
  7. Segregasi/Varian adalan benih atau tanaman yang menunjukan ciri-ciri berbeda dari varietas, namun berdasarkan derajad kemiripannya dapat diduga memiliki latar belakang genetik yang sama dengan varietas yang telah dilepas sehingga varian tak dianggap sebagai type-simpang.
  8. Benih Sumber adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memproduksi benih yang merupakan kelas-kelas benih meliputi benih inti, benih penjenis, benih dasar dan benih pokok.
  9. Sumber Benih adalah tempat dimana suatu kelompok benih diproduksi.
  10. Benih Penjenis (breeder Seed) adalah benih yang diproduksi dibawah pengawasan pemulia yang bersangkutan dengan prosedur baku yang memenuhi sertifikasi sistem mutu sehingga tingkat kemurnian genetik varietas (true-to-type) terpelihara dengan sempurna.
  11. Benih Dasar adalah keturunan pertama dari Benih Penjenis yang memenuhi standar mutu kelas Benih Dasar.
  12. Benih Pokok adalah keturunan pertama dari Benih Dasar atau Benih Penjenis yang memenuhi standar mutu kelas Benih Pokok.
  13. Benih Sebar adalah keturunan pertama Benih Pokok, Benih Dasar atau Benih Penjenis yang memenuhi standar mutu kelas Benih Sebar.
  14. Benih Hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan dari persilangan antara 2 (dua) atau lebih tetua pembentuknya dan/atau galur induk/inbrida homozigot.
  15. Materi induk adalah tanaman dan/atau bagiannya yang digunakan sebagai bahan perbanyakan benih.
  16. Pohon Induk Pemulia (PIP) adalah pohon induk yang berada dibawah pengelolaan pemulia tanaman dapat berupa Pohon Induk Tunggal atau Populasi tergantung susunan genetik varietas yang bersangkutan.
  17. Entres adalah tanaman atau bagian tanaman yang digunakan untuk perbanyakan vegetatif.
  18. Pemulia tanaman adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman.
  19. Blok Fondasi (BF) adalah tempat pertanaman pohon induk tanaman buah hasil perbanyakan Pohon Induk Tunggal/Pohon IP (Benih Penjenis) untuk menghasilkan Benih Dasar yang merupakan sumber penghasil mata tempel atau bahan sambung untuk perbanyakan berikutnya.
  20. Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT) adalah pertanaman pohon induk tanaman buah hasil perbanyakan pertanaman BF (Benih Dasar) untuk menghasilkan Benih Pokok yang merupakan sumber penghasil mata temple atau bahan sambung untuk perbanyakan berikutnya.
  21. Blok Perbanyakan Benih (BPB) adalah tempat perbanyakan Benih Pokok menjadi Benih Sebar, untuk memenuhi langsung keperluan petani konsumen benih.
  22. Kebun Induk adalah kebun yang dibangun dengan rancangan khusus sehingga perkawinan liar dapat dicegah, persilangan yan diinginkan dimungkinkan terlaksana, baik itu perkawinan silang secara alami maupun perkawinan buatan.
  23. Perbanyakan generatif adalah perbanyakan tanaman melalui perkawinan sel-sel reproduksi.
  24. Perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan tanaman tanpa melalui penyerbukan.
  25. Perbanyakan benih klonal adalah perbanyakan secara vegetatif yang berasal dari 1 (satu) pohon yang jelas identitasnya dan dapat ditelusuri asal usulnya.
  26. Sertifikasi benih adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap benih yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi melalui pemeriksaan lapangan, pengujian laboratorium dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.
  27. Sertifikat adalah keterangan tentang pemenuhan/telah memenuhi persyaratan mutu yang diberikan oleh lembaga sertifikasi pada kelompok benih yang disertifikasi atas permintaan produsen benih.
  28. Sertifikasi sistem manajemen mutu adalah suatu cara pengendalian mutu dengan menerapkan sistem manajemen mutu dalam proses produksi barang dan jasa.
  29. Sertifikasi produk adalah proses penandaan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap barang dan jasa yang telah memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu dan mutu produk.
  30. Sertifikat produk adalah surat keterangan yang diberikan oleh lembaga sertifikasi produk kepada produsen benih untuk melakukan penandaan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap barang dan jasa.
  31. Lembaga sertifikasi adalah suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan sertifikasi sistem manajemen mutu dan/atau sertifikasi produk.
  32. Label adalah keterangan tertulis, tercetak atau bergambar tentang benih yang ditempelkan atau disertakan secara jelas pada sejumlah benih, dalam bulk atau suatu wadah.
  33. Izin adalah pemberian kewenangan oleh pejabat yang berwenang kepada perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah untuk melakukan kegiatan produksi, sertifikasi, pelabelan dan/atau peredaran.
  34. Tanda Daftar adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang dan berlaku sebagaimana layaknya izin.
  35. Standar mutu benih adalah spesifikasi teknis benih yang baku mencakup mutu fisik, genetik, fisiologis dan/atau kesehatan benih.
  36. Peredaran adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran benih bina di dalam negeri baik untuk maupun tidak diperdagangkan.
  37. Pengedar benih bina adalah setiap orang, badan hukum atau instansi Pemerintah yang melakukan kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan benih bina kepada masyarakat baik untuk maupun tidak diperdagangkan.
  38. Produsen benih bina adalah perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang melakukan proses produksi benih bina.
  39. Pengawasan adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu diperlukan terhadap dokumen dan/atau benih yang beredar untuk mengetahui kesesuaian mutu dan data lainnya dengan label dan standar mutu benih yang ditetapkan.


 

Pasal 2

Peraturan ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pelaksanaan produksi, sertifikasi dan peredaran benih bina dengan tujuan untuk :

  1. menjamin ketersediaan benih bermutu secara berkesinambungan;
  2. menjamin kebenaran jenis, varietas/klon/hibrida dan mutu benih yang beredar; dan
  3. mempercepat sosialisasi dan alih teknologi varietas kepada pengguna.

Pasal 3

Ruang lingkup peraturan ini meliputi produksi, sertifikasi, sertifikasi sistem mutu, biaya sertifikasi, peredaran dan pengawasan peredaran benih bina.

BAB II

PRODUKSI BENIH

Pasal 4

  1. Untuk menjamin ketersediaan benih sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a ditetapkan jenis dan jumlah secara nasional.
    1. Penetapan jenis dan jumlah benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
      Keputusan tersendiri.
    2. Penetapan jenis dan jumlah kebutuhan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum tanam.


 

Pasal 5

  1. Benih bina dapat dihasilkan melalui perbanyakan vegetatif dan/atau generatif.
    1. Benih bina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi :
      1. Benih Penjenis;
        1. Benih Dasar;
        2. Benih Pokok; dan
        3. Benih Sebar.
  2. Benih hibrida merupakan kelas Benih Sebar.

Pasal 6

  1. Benih Penjenis merupakan benih yang diproduksi dibawah pengawasan pemulia yang bersangkutan dengan prosedur baku memenuhi sertifikasi sistem mutu sehingga tingkat kemurnian genetik varietas terpelihara dengan sempurna. Bentuk benih penjenis tergantung sistem reproduksi tanaman, yaitu dapat berupa pohon induk pemulia, biji, dan organ vegetatif.
    1. Benih Dasar hanya dapat diproduksi dari Benih Penjenis yang dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas dapat terpelihara serta memenuhi standar mutu benih bina yang ditetapkan. Pada perbanyakan vegetatif, Benih Dasar dapat berupa kebun entres yang dibangun dengan prosedur baku untuk digunakan sebagai sumber stek atau mata tempel atau tunas sambung atau eksplan.
    2. Benih Pokok hanya dapat diproduksi dari Benih Dasar atau Benih Penjenis yang dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas dapat terpelihara serta memenuhi standar mutu benih bina yang ditetapkan. Pada perbanyakan vegetatif, Benih Pokok dapat berupa kebun entres yang dibangun dengan prosedur baku untuk digunakan sebagai sumber stek atau mata tempel atau tunas sambung atau eksplan.


 


 

  1. Benih Sebar dapat diproduksi dari Benih Pokok, Benih Dasar atau Benih Penjenis.
  2. Benih Sebar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) identitas dan tingkat kemurniannya memenuhi standar mutu benih bina.
  3. Benih Sebar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang perbanyakannya melalui vegetatif merupakan benih hasil okulasi/grafting dari mata tempel atau bahan sambung yang diambil dari pertanaman pohon induk di Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT), Kebun Induk (KI), Kebun Entres (KE) yang disambung dengan batang bawah di blok perbanyakan Benih.
  4. Benih Sebar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khususnya untuk jenis tanaman yang menyerbuk sendiri dan faktor perbanyakannya rendah, dapat digunakan sebagai benih sumber untuk perbanyakan benih sebar berikutnya, selama memenuhi standar mutu kelas benih sebar.


 

Pasal 7

  1. Produksi benih bina dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah.
    1. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang akan memproduksi benih bina harus menguasai lahan dan memiliki sarana pengolahan benih yang memadai, sarana penunjang sesuai dengan jenis benihnya, dan tenaga yang mempunyai pengetahuan di bidang perbenihan.
    2. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin produksi benih bina apabila :
      1. mempekerjakan paling sedikit 10 (sepuluh) orang tenaga tetap;
      2. memiliki aset diluar tanah dan bangunan paling sedikit Rp. 500.000.000 rupiah (lima ratus juta rupiah); dan
      3. hasil penjualan benih bina selama satu tahun paling sedikit Rp. 5000.000.000,-(lima milyar rupiah).
    3. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memproduksi benih bina tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) cukup dilakukan pendaftaran.


 

Pasal 8

(1)    Izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan oleh bupati/walikota dalam hal ini Kepala Dinas yang membidangi perbenihan tanaman.

(2)    Untuk memperoleh izin produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah wajib menyampaikan permohonan kepada bupati/walikota melalui Kepala Dinas yang membidangi perbenihan tanaman dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum pada lampiran I dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:

  1. Identitas, domisili;
  2. akte pendirian perusahaan bagi badan hukum;
  3. rencana kerja dan kelas benih bina yang akan diproduksi;
  4. keterangan telah melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Kelola Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. keputusan hak guna usaha bagi yang menggunakan tanah Negara.


 


 


 


 

Pasal 9

  1. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memproduksi benih bina harus bertanggung jawab atas kualitas benih yang diproduksi.
  1. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memproduksi benih bina harus mentaati sepenuhnya segala peraturan perundang- undangan di bidang perbenihan.

Pasal 10

(1) Izin produksi benih bina dicabut apabila :

  1. pemegang izin produksi tidak melakukan ketentuan yang tercantum dalam izin;
    1. pemegang izin produksi melakukan perubahan lokasi pengolah benih atau perubahan jenis tanaman tanpa persetujuan pemberi izin;
    2. diserahkan kembali oleh pemegang izin produksi/tanda daftar kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
    3. pemegang izin produksi melakukan tindakan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    4. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak terpenuhi lagi;
    5. terjadi perubahan pemegang izin produksi benih bina tanpa sepengetahuan pemberi izin; atau
    6. Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah tidak bertanggung jawab atas kualitas benih bersertifikat yang diproduksi.

(2)    Pencabutan izin produksi benih bina karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a, d atau f dilakukan setelah kepada perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah diberi peringatan tertulis sebanyak 2 (kali) selang 1 (satu) bulan dan tidak mengindahkan peringatan tersebut.

  1. Pencabutan izin produksi benih bina segera dilakukan apabila karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, e atau g.


 

BAB III

SERTIFIKASI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 11

  1. Untuk memproduksi benih bina harus melalui sertifikasi.
  2. Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan :
    1. melalui pengawasan pertanaman dan/atau uji laboratorium;
    2. melalui sistem manajemen mutu; atau
    3. terhadap produk/benih.

Pasal 12

  1. Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, diselenggarakan oleh instansi pemerintah yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi pengawasan mutu dan sertifikasi benih tanaman.


 

  1. Hasil sertifikasi terhadap kelompok benih yang telah memenuhi persyaratan, diterbitkan sertifikat.
  2. Persyaratan pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Pasal 13

  1. Sertifikasi sistem manajamen mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, dapat diselenggarakan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah dengan ruang lingkup sertifikasi benih yang terakreditasi.
  2. Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sistem manajemen mutu yang diterapkan oleh produsen benih.
  3. Produsen benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu yang berlaku, diterbitkan sertifikat sistem manajemen mutu.

Pasal 14

  1. Sertifikasi terhadap produk/benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, dapat diselenggarakan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang terakreditasi.
  2. Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sistem manajemen mutu dan produk/benih.
  3. Apabila hasil sertifikasi terhadap sistem manajemen mutu dan produk/benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan yang berlaku, diterbitkan sertifikat.
  4. Produsen benih yang telah mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat menerapkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI)

Bagian Kedua

Sertifikasi Benih


 

Paragraf kesatu

Umum

Pasal 15

Untuk mendapatkan sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), produsen benih mengajukan permohonan secara tertulis kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum pada lampiran II dengan dilengkapi persyaratan, antara lain:

  1. penguasaan dan peta lahan yang akan digunakan untuk memproduksi benih;
  2. kepemilikan atau penguasaan benih sumber/pohon induk yang berlabel;
  3. perencanaan tanam; dan
  4. penguasaan fasilitas sesuai dengan jenis tanaman yang diusahakan.


 

Pasal 16

  1. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diajukan paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tabur/tanam atau sesuai dengan jenis tanamannya.
  2. Satu permohonan berlaku untuk satu unit sertifikasi, yang terdiri atas satu lokasi atau beberapa lokasi untuk
    satu varietas dan satu kelas benih.


 

  1. Apabila pemohon sertifikasi berjumlah dua orang, badan hukum atau instansi pemerintah, atau lebih yang bekerja sama, permohonan dapat ditanda tangani oleh satu orang atas nama seluruhnya, atau oleh setiap pemohon sesuai perjanjian kerja samanya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan yang bersangkutan apabila masing-masing akan meminta sertifikasi atas bagiannya.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan dilaporkan kepada institusi penyelenggara sertifikasi yang bersangkutan.


 

Pasal 17

  1. Unit sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus dinyatakan dengan jelas mengenai letak/lokasi, luas dan batas terhadap tanaman disekelilingnya.
  2. Penanaman dalam satu unit sertifikasi dilakukan dengan isolasi jarak dan atau waktu.
  3. Ketentuan mengenai letak/lokasi, luas, batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.


 

Pasal 18

  1. Lahan untuk produksi benih harus lahan yang dapat diketahui penggunaan sebelumnya dan harus sesuai dengan persyaratan varietas yang akan ditanam.
  2. Ketentuan mengenai lahan dan varietas yang akan ditanam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Pasal 19

Ketentuan mengenai masa berlaku sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), lebih lanjut ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Pasal 20

Instansi pemerintah yang melakukan sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) harus melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Gubernur dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Perbenihan yang bersangkutan.

Pasal 21

  1. Untuk memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), produsen benih mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dengan melampirkan persyaratan.
  2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan masa berlaku sertifikat diatur dalam ketentuan yang berlaku.

Pasal 22

  1. Untuk memperoleh sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), produsen benih mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dengan melampirkan persyaratan.
  2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan masa berlaku sertifikat diatur dalam ketentuan yang berlaku.

Pasal 23

  1. Produsen benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) yang telah memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) harus melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu, dengan tembusan kepada Instansi Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih setempat dan Direktur Jenderal melalui Direktur Perbenihan yang bersangkutan
  2. Produsen benih yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) harus melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk, dengan tembusan kepada Instansi Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih setempat dan Direktur Jenderal melalui Direktur Perbenihan yang bersangkutan

Pasal 24

Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi kegiatan :

  1. Pemeriksaan lapangan;
  2. Pengujian laboratorium; dan
  3. Pelabelan.


 

Paragraf Kedua

Pemeriksaan Lapangan

Pasal 25

Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan terhadap dokumen, pertanaman, peralatan , dan pengangkutan.

Pasal 26

Untuk mendapatkan kepastian bahwa data yang diberikan kepada penyelenggara sertifikasi telah benar-benar sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan, maka pengawas benih harus melakukan pemeriksaan kebenaran dokumen sebelum benih di sebar/ di tanam.

Pasal 27

(1) Pemeriksaan pertanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan pada fase-fase pertumbuhan tertentu dari tanaman yang bersangkutan, sehingga dapat diperoleh kepastian pertanaman tersebut bebas dari tanaman voluntir (tanaman yang berasal dari sisa tanaman sebelumnya), tipe-simpang dan terhindar dari penyerbukan yang tidak diinginkan.

(2)    Pelaksanaan pemeriksaan pertanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain untuk mengetahui :

  1. kemurnian genetik melalui penampilan fenotip;
    1. kebenaran sumber benih, dan benih sumber atau pohon induk;
    2. ada atau tidak terjadinya persilangan;
    3. tercampurnya pertanaman dengan tanaman varietas lain atau pertanaman blok lain.


 

(3)    Pemeriksaan pertanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan, antara lain untuk :

  1. benih bina yang berasal dari biji dilakukan terhadap morfologi tanaman pada fase sebelum berbunga, dan/atau saat berbunga dan/atau menjelang panen sesuai dengan sifat tanamannya;
    1. benih bina yang diperbanyak secara vegetatif dilakukan terhadap kebenaran dan/atau kesehatan pohon induk/materi induknya, pada tahap-tahap pertumbuhan tertentu.
    2. benih bina yang berasal dari umbi/rimpang selain pemeriksaan tanaman di lapangan juga dilaksanakan pemeriksaan umbi/rimpang di gudang untuk mengetahui kemurnian/kebenaran varietas dan kesehatan benihnya.
  1. Pertanaman untuk benih bina dinyatakan lulus pemeriksaan lapangan, apabila memenuhi persyaratan dan standar.
  2. Ketentuan mengenai persyaratan dan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Pasal 28

  1. Pemeriksaan pertanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan atas permintaan produsen benih bina kepada penyelenggara sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan pemeriksaan pertanaman dilakukan.
  2. Untuk tanaman yang menyerbuk silang saat pemeriksaan pertanaman fase berbunga dilakukan tanpa pemberitahuan lebih dahulu.
  3. Sebelum pemeriksaan pertanaman dilakukan, produsen benih harus melakukan seleksi (roguing) dan penyiangan sesuai dengan jenis tanamannya.
  4. Ketentuan mengenai pemeriksaan pertanaman, seleksi (roguing) dan penyiangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.


 

Pasal 29

  1. Apabila pemeriksaan pertanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 belum memenuhi standar yang berlaku, produsen benih bina dapat meminta pemeriksaan ulang setelah memperbaiki kondisi pertanamannya.
  2. Apabila hasil pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi standar, sertifikasi tidak dilanjutkan.


 

Pasal 30

Apabila pemeriksaan fase vegetatif dan/atau fase generatif memenuhi standar kelas benih yang dimohonkan, tetapi pada pemeriksaan terakhir tidak memenuhi standar, sertifikasi dapat dilanjutkan apabila memenuhi standar kelas benih yang lebih rendah.


 


 


 


 

Pasal 31

  1. Hasil pemeriksaan pertanaman yang dilakukan oleh penyelenggara sertifikasi disampaikan kepada produsen benih paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah selesai pemeriksaan.
  2. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus.
  3. Hasil pemeriksaan yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sertifikasi dapat dilakukan ke tahap berikutnya.
  4. Apabila pertanaman suatu areal sertifikasi dinyatakan tidak lulus, maka:
    1. paling lambat dalam 2 (dua) hari, laporan hasil pemeriksaan pertanaman harus disampaikan kepada produsen;
      1. dalam hal hanya sebagian tidak lulus, didalam laporan harus mencantumkan bagian-bagian yang tidak lulus disertai alasan.

Pasal 32

(1) Pemeriksaan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 meliputi pemeriksaan kebersihan dan/atau kesesuaian alat tanam, panen, angkut, pengolahan dan alat penyimpanan benih.

(2) Pemeriksaan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum alat digunakan.

(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.


 


 

Pasal 33

  1. Hasil pemeriksaan pertanaman yang lulus dapat dikelompokkan dengan penggabungan dua atau lebih unit sertifikasi dan kelas benih yang sama dengan perbedaan tanggal panen.
    1. Setelah calon benih diolah dan ditetapkan sebagai suatu kelompok benih, harus ditandai dengan identitas yang jelas.
    2. Identitas kelompok benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain jenis/varietas, nomor kelompok, asal lapangan dan tanggal panen harus ada dan melekat/menyatu pada kelompok yang bersangkutan serta terpelihara setiap saat.
    3. Produsen benih harus mencantumkan nomor kelompok pada setiap wadah /tempat dari suatu kelompok benih tersebut atau memberikan identitas yang berisi nomor kelompok benih pada setiap wadah/tempatnya.
    4. Penyusunan wadah/tempat benih setiap kelompok benih diatur supaya tidak tercampur dan memudahkan penghitungan serta pengambilan contoh benih.
    5. Kelompok benih yang identitasnya meragukan atau kemungkinan tercampur, ditolak untuk disertifikasi.
    6. Instansi penyelenggara sertifikasi berwenang untuk membatasi jumlah dan/atau berat suatu kelompok benih dengan ketentuan maksimum.
    7. Apabila beberapa kelompok benih dari varietas yang sama dicampur menjadi satu kelompok benih, harus dilakukan dengan menggunakan alat/pengaduk yang memenuhi syarat.
    8. Apabila beberapa kelompok benih dari kelas yang berbeda dicampur, kelompok benih harus disesuaikan dengan kelas benih yang terendah.
    9. Ketentuan mengenai penggabungan unit sertifikasi, penandaan identitas, penyusunan wadah/tempat benih, pengambilan contoh benih, pembatasan jumlah dan/atau berat kelompok benih, cara pencampuran benih, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (7) dan ayat (8), diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Paragraf Ketiga

Pengujian Laboratorium

Pasal 34

  1. Untuk mengetahui mutu fisik dan fisiologi kelompok calon benih dilakukan uji di laboratorium.
  2. Uji laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mewakili kelompok calon benih yang telah lulus pada tahapan sertifikasi sebelumnya, jelas pembentukan kelompoknya dan seragam mutunya (homogen).
  3. Untuk pengujian daya tumbuh/berkecambah dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah diolah, sedangkan untuk pengujian laboratorium lainnya hanya dapat dilakukan setelah pengolahan benih.
  1. Contoh calon benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diambil oleh pengawas benih atau petugas pengambil contoh benih.
  2. Petugas pengambil contoh benih sebagaimana di maksud pada ayat (4) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.

Pasal 35

Pedoman pengujian contoh benih di laboratorium sebagaimana di maksud dalam Pasal 34 mengacu pada peraturan "International Seed Testing Association" (ISTA Rules).

Pasal 36

  1. Untuk jenis komoditas tertentu, dapat dikecualikan dalam uji laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
  2. Jenis komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang bersangkutan.


 


 

Paragraf Keempat

Pelabelan

Pasal 37

  1. Benih bina yang telah lulus sertifikasi dan akan diedarkan, wajib diberi label bertuliskan "BENIH BERSERTIFIKAT" dalam bahasa Indonesia pada kemasan yang mudah dilihat dan tidak mudah rusak :
    1. Untuk benih berbentuk biji, umbi dan rimpang paling kurang memuat:
      1. nama jenis dan varietas;
      1. kelas benih dan nomor kelompok benih;
      2. keterangan mutu;
      3. berat/volume benih;
      4. masa berlaku label; dan
      5. nama dan alamat produsen;
    1. Untuk benih yang diperbanyak dengan stek/okulasi/sambung/cangkok paling kurang memuat :
  • nama jenis dan varietas;
  • kelas benih;
  • nomor induk;
  • tanggal panen/okulasi/sambung/cangkok;
  • masa berlaku label untuk jenis tertentu; dan
  • nama dan alamat produsen.
  1. Untuk benih yang diperbanyak dengan kultur jaringan dan dalam bentuk planlet :
    1. nama jenis dan varietas;
    1. nomor induk;
    2. kelas benih dan nomor kelompok;
    3. tanggal transfer/tanggal kadaluarsa;
    4. masa berlaku label; dan
    5. nama dan alamat produsen.
  1. Benih bina yang diberi perlakuan dengan fungisida, insektisida atau bahan kimia lainnya pada kemasan diberi keterangan tambahan yang memuat :
    1. nama umum dari bahan-bahan yang digunakan;
      1. tanda peringatan yang jelas "JANGAN DIMAKAN ATAU DIBERIKAN PADA TERNAK".


 

Pasal 38

Kemasan benih yang tidak memungkinkan mencantumkan komponen mutu benih pada label, maka label cukup ditulisi "Benih ini telah memenuhi standar mutu benih untuk kelas BENIH PENJENIS, BENIH DASAR, BENIH POKOK atau BENIH SEBAR".


 

Pasal 39

  1. Label dibuat oleh produsen benih menggunakan nomor seri label dari penyelenggara sertifikasi.
  2. Untuk mendapatkan nomor seri label, produsen mengajukan permohonan dengan melampirkan keterangan mengenai jumlah label sertifikasi yang diperlukan, nomor pengujian, nomor kelompok benih yang bersangkutan, jenis, varietas, jumlah wadah, berat bersih tiap wadah, nama dan alamat produsen.
  3. Label dipasang oleh produsen benih untuk setiap wadah benih pada bagian yang mudah terlihat dengan diawasi oleh penyelenggara sertifikasi.

Pasal 40

  1. Warna label untuk tiap-tiap kelas benih adalah :
    1. Benih Penjenis berwarna kuning;
      1. Benih Dasar berwarna    putih;
      2. Benih Pokok berwarna    ungu;dan
      3. Benih Sebar berwarna    biru.
  2. Untuk benih sayuran dan buah semusim yang kemasannya kecil-kecil dapat diberi tanda bulatan/lingkaran dengan warna yang sesuai dengan kelasnya.

Pasal 41

  1. Pengujian dan pelabelan ulang dapat dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sebelum habis masa edar.
  1. Pengujian dan pelabelan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap benih produksi dalam negeri atau yang berasal dari pemasukan oleh produsen atau pengedar benih.
  2. Pengujian dan pelabelan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan pengambilan contoh benih dan pengujian kepada lembaga sertifikasi.
  3. Apabila dari hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memenuhi standar mutu, produsen atau pengedar benih dapat memasang label ulang pada wadah benih dengan kata-kata " LABEL ULANG" atau "LU".


 

Pasal 42

  1. Kemasan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 harus menggunakan bahan dan alat yang dapat memperlambat laju kerusakan dan/ atau tidak merusak benih.
  2. Kemasan untuk benih bina yang diberi pestisida atau bahan kimia berbahaya harus terbuat dari bahan yang tahan dari kerusakan.

Paragraf Kelima

Pengiriman, Pengangkutan dan Penyimpanan


 

Pasal 43

  1. Pengiriman atau pengangkutan calon benih dalam bentuk curah harus disertai keterangan secara tertulis antara lain, nama, alamat pengirim dan tujuan pengiriman serta hasil pemeriksaan lapangan dari penyelenggara sertifikasi.
    1. Apabila calon benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilengkapi dengan nama, alamat pengirim dan tujuan pengiriman serta hasil pemeriksaan lapangan, sertifikasi tidak dapat dilanjutkan.

Pasal 44

  1. Untuk menghindari penurunan mutu benih, setiap pengangkutan benih harus menggunakan alat angkut yang sesuai dengan kondisi, jenis dan bentuk benih.
  2. Tempat penyimpanan benih dapat berupa gudang, ruang terbuka, ruang pendingin, rumah kaca atau lainnya yang tidak mempengaruhi penurunan mutu benih.


     

Paragraf Keenam

Pembatalan Sertifikat

Pasal 45

Sertifikasi benih bina dapat dibatalkan, apabila diketahui:

  1. sertifikasi tidak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku;
  2. dokumen pendukung sertifikasi tidak benar.

BAB IV

BIAYA SERTIFIKASI

Pasal 46

  • Biaya sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi pemerintah ditetapkan sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.
  • Biaya sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi
    swasta ditentukan oleh lembaga swasta yang bersangkutan.

BAB V

PEREDARAN BENIH

Pasal 47

  1. Calon pengedar benih bina untuk menjadi pengedar benih bina harus mendaftar kepada Bupati/walikota melalui Dinas yang tugas pokoknya membidangi perbenihan tanaman.
  2. Untuk memperoleh tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyampaikan surat permohonan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
    1. Identitas dan alamat domisili yang jelas dan benar;
      1. jenis dan jumlah benih yang akan diedarkan;
      2. fasilitas dan kapasitas penyimpanan yang dimiliki.
  1. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dipenuhi, kepada calon pengedar benih bina diberikan tanda daftar pengedar benih bina.
  2. Pengedar benih bina berkewajiban :
    1. mematuhi peraturan perundang-undangan perbenihan yang berlaku;
      1. memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan;
      2. menjaga mutu benih bina yang diedarkan;
      3. memiliki catatan dan menyimpan data benih bina yang diedarkan selama 1 (satu) tahun bagi tanaman semusim, dan 5 (lima) tahun bagi tanaman tahunan;
      4. melaporkan jumlah benih bina yang diedarkan kepada instansi yang berwenang dengan tembusan kepada Bupati/walikota dan Direktur Jenderal bersangkutan;
      5. memberikan keterangan yang diperlukan Pengawas Benih Tanaman;
      6. melaporkan setiap terjadi perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
      7. mendaftar ulang pada setiap akhir tahun.

Pasal 48

Tanda daftar pengedar benih bina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dicabut apabila :

  1. meninggal dunia;
  2. dikembalikan kepada Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47;
  3. tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4); atau
    1. membuat laporan yang tidak benar.

      BAB VI

PENGAWASAN PEREDARAN BENIH

Pasal 49

  1. Pengawasan peredaran benih dilakukan oleh pengawas benih.
  2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu diperlukan melalui pemeriksaan terhadap dokumen dan/atau benih.


 

Pasal 50

  1. Apabila pada waktu pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditemukan hal yang mencurigakan, Pengawas Benih dapat menghentikan peredaran benih bina yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, untuk pemeriksaan kebenaran dokumen.
  2. Apabila dari hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya penyimpangan prosedur, maka Pengawas Benih melaporkan kepada Bupati/walikota melalui Dinas yang membidangi perbenihan tanaman dengan tembusan kepada Direktur Jenderal .
  3. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati/walikota melalui Dinas yang membidangi perbenihan tanaman dapat menghentikan peredaran benih bina dimaksud.
  4. Apabila dari hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditemukan kejanggalan atau penyimpangan prosedur, atau dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Pengawas Benih belum dapat memberikan kepastian hasil pemeriksaan, maka kelompok benih yang bersangkutan dapat diedarkan kembali.

Pasal 51

  1. Pemeriksaan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap label dan benih yang beredar, dengan cara mengambil contoh dari kelompok benih yang bersangkutan untuk dilakukan pengujian ulang.
    1. Selama pengujian ulang, Pengawas Benih menghentikan peredaran kelompok benih yang bersangkutan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
    2. Apabila hasil pengujian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak sesuai dengan label, maka Bupati/walikota melalui Dinas yang membidangi pertanian dapat melarang peredaran kelompok benih dimaksud berdasarkan laporan pengawas benih.
    3. Apabila instansi yang menangani perbenihan
      tanaman telah menghentikan peredaran benih bina sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ternyata benih tersebut masih diedarkan, instansi yang bersangkutan harus melaporkan kepada Bupati/walikota untuk diadakan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bersama penyidik pejabat polisi.
    4. Apabila dari hasil pengujian ulang ternyata mutu benih masih sesuai dengan standar mutu, atau dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Pengawas Benih belum dapat memberikan kepastian hasil ujinya, maka kelompok benih yang bersangkutan dapat diedarkan kembali.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52

  1. Izin produksi, dan pengawasan peredaran benih serta sertifikasi yang sedang diproses sebelum ditetapkan peraturan ini, akan diproses sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998.
    1. Izin produksi yang telah diterbitkan sebelum peraturan ini dinyatakan masih tetap berlaku.


       

      BAB VIII

      KETENTUAN PENUTUP

      Pasal 53

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 dan Keputusan Menteri Petanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998 dinyatakan tidak berlaku.


 


 

Pasal 54

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


 


 

    Ditetapkan di Jakarta

    pada tanggal


 

    MENTERI PERTANIAN,


 


 


 


 

    ANTON APRIYANTONO


 

SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth.:

  1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
  2. Menteri Dalam Negeri;
  3. Menteri Keuangan;
  4. Menteri Perindustrian
  5. Menteri Perdagangan;
  6. Menteri Kehutanan;
  7. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
  8. Menteri Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah;
  9. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
  10. Pimpinan Unit Kerja Eselon I di Lingkungan Departemen Pertanian;
  11. Kepala Dinas Kabupaten/kota yang membidangi pertanian di seluruh Indonesia.


 


 


 


 

    
 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar: